Thursday, June 12, 2014

Not His Story: We just Don't Care (?)

Beberapa waktu lalu, saya sempat sedikit mengungkapkan uneg-uneg seputar 'perdebatan' saya dengan salah seorang teman mengenai public display affection melalui social media, sebut saja di PATH. Well, gak lama setelah itu teman saya yang agak hobi ber-PDA ria sudah mulai gak aktif-aktif banget untuk share her intimate moment on socmed, entah karena sadar atau memang kebetulan aja dia mulai males melakukan hal tersebut...honeymoon period will face its ends, right?!

Saya kali ini gak akan membicarakan apa yang terjadi dengan kebiasaan PDA dari sahabat saya itu, tapi disini saya mau sedikit membahas masalah kehidupan online dan offline  kita. Kebetulan, di semester 4 ini, saya memperoleh mata kuliah Analisa Jaringan Sosial dan di salah satu soal UAS yang baru saja dikumpulkan kemarin, ada pertanyaan yang membuat saya semakin ingin kembali membahas hal itu di blog ini. Kurang lebih isi soalnya sebagai berikut:

"Di dunia online, pengguna punya kemampuan yang lebih besar untuk mengelola informasi mengenai identitas dirinya. Pengguna relatif lebih bebas untuk menentukan username, avatar, dan identitas lainnya juga bisa membebaskan diri dari prejudice dan stereotype yang berlaku di dunia offline. Oleh karenanya, pengguna lebih bebas berbicara/bertindak apa saja karena tidak takut akan sanksi. Bagaimana pendapat anda tentang hal ini?"
Public Display Affection di social media bisa jadi salah satu bentuk unjuk kebebasan berbicara dan bertindak di dunia online karena, terutama di Indonesia, menunjukkan kasih sayang di ruang publik bisa memberikan anggapan bahwa pelaku melanggar nilai dan norma orang Indonesia sebagai negara, yang katanya, Islam. So, karena di social media kita bisa jadi siapa saja, apa saja, dan berbuat apa saja, PDA dianggap hal yang biasa. Contoh PDA di sosial media misalnya mengucapkan 'selamat pagi', atau 'semangat ya sayang' dan sebagainya. Saya pribadi akan menganggap jika hal tersebut dilakukan satu atau dua kali, atau dalam rentang waktu yang berjauhan atau dalam waktu-waktu spesial, hal tersebut akan jadi hal yang biasa saja. Tapi apa yang terjadi kalau salah seorang yang kita follow melakukan hal tersebut SETIAP SAAT, padahal logikanya nih...mengucapkan selamat pagi itu bisa dilakukan by phone atau by text...kalau saya pribadi rasanya terganggu, sangat terganggu. 

Anggapan bahwa ada kebebasan di dunia online seharusnya kembali jadi perhatian kita, si pengguna dua dunia. Tahu dong kalau ketika membuat suatu akun di sebuah website kita akan dihadang terlebih dahulu dengan sebuah surat 'perjanjian' mengenai aturan main di website tersebut? Mayoritas akan langsung men-skip surat tersebut dan langsung men-klik agree. Sadarkah kita bahwa keberadaan aturan tersebut pada dasarnya menjadi suatu batasan untuk kita di dunia online? Jadi, siapa bilang hidup di dunia maya itu bisa bebas sebebas-bebasnya?

Contoh lain, untuk kembali menyadarkan bahwa kita tidak bisa 'bebas' di dunia maya, secara sadar ataupun tidak, ketika kita ingin menuliskan sesuatu atu men-share sesuatu, kita sempatkan waktu untuk mencari padanan kata yang pas atau kalaupun sudah di share, merasa menyesal dengan apa yang kita bagikan ke dunia online tersebut. Atau pastinya pernah berfikir sesuatu terhadap apa yang di bagikan oleh teman kita di sosial media, entah apa yang ia bagikan itu membuat kita berfikir bahwa dia adalah wanita yang materialistis atau wanita yang tidak bisa hidup tanpa pria, atau bahkan pria yang tidak jantan karena selalu galau di sosial media....Kemudian, masih yakin bahwa dunia online bebas dari praduga para penggunanya?

Dunia online tidak sebebas apa yang kita bayangkan. Kenapa?  karena kita sebagai manusia masih tidak bisa memisahkan apa yang harusnya tetap berada di dunia nyata dan apa yang harus dibawa ke dunia maya. Seperti apa yang sempat saya tulis di beberapa post sebelumnya bahwa kita masuk menjadi pengguna salah satu laman web atau applikasi di dunia maya untuk masuk kesuatu jaringan yang kita inginkan. Kita akan melakukan berbagai usaha untuk tetap ada dalam jaringan tersebut. Apakah kita yakin jika salah seorang teman dekat kita di dunia nyata tiba-tiba men-unfollow atau unfriend akun milik kita, kemudian kita akan merasa biasa saja? Pasti akan muncul pertanyaan 'kenapa' dia melakukan itu atau apa yang salah dengan kita. Jika kamu telah berhasil untuk tidak merasa demikian, selamat..kamu berhasil melepaskan apa yang ada di dunia nyata untuk masuk ke dunia maya. 

Hubungan sosial yang terjalin di dunia online maupun offline akan terus menerus menjadi pendorong kita untuk menentukan apa yang baik dan buruk untuk menjaga image kita di masyarakat, well..setidaknya di kelompok tempat kita bernaung.Saya sendiri merasa agak sulit untuk bisa memisahkan kehidupan online dan offline karena keduanya terdiri dari orang-orang dari jaringan yang sama, sehingga apapun yang saya lakukan kemudian akan berpengaruh di kedua dunia tersebut.

Intisari yang saya coba capai dalam tulisan ini adalah, kita harus lebih peduli dengan aturan-aturan yang berlaku di dunia nyata maupun maya. Alasannya sederhana, karena kedua dunia tersebut saling bersinggungan. Dengan orang yang kita kenal maupun tidak, prejudice itu akan terus menerus muncul karena sifat tersebut sudah jadi satu dengan kehidupan manusia. So, bagi yang masih suka ber-PDA dalam skala yang berlebihan, coba mulai dikurangi...karena kita hidup di dunia sosial dimana setiap orang akan terus menilai diri kita untuk kemudian dibawa kedalam kehidupan sehari-hari.

In the end, saran dan kritik para pembaca (bagi yang memang membaca) dibutuhkan...supaya menambah pandangan baru. 

Have a great summer!

No comments:

Post a Comment