Showing posts with label thought. Show all posts
Showing posts with label thought. Show all posts

Tuesday, June 19, 2018

Sending Positive Vibes through Responding to Comment


"Na, inget timbangan...nanti rusak. Jangan makan banyak-banyak!"


How's your Lebaran so far? Sudah lewat beberapa hari, tapi vibe Idul Fitri masih terasa banget hingga hari ini. Jakarta yang masih terasa super lengang dan masih banyak kosongnya tempat parkir di mall jadi indikator bahwa semangat Idul Fitri masih cukup menggema. Mungkin masih ada juga yang berkeliling ke rumah keluarga untuk saling maaf memaafkan atau sekedar berkumpul sambil nostalgia masa kecil. 

Bertemu keluarga di Hari Raya ini pastinya meninggalkan kesan tersendiri bagi kita, sebabnya? Beragam! Mulai dari kesempatan untuk catching up dengan keluarga yang tinggal berjauhan, menikmati hidangan khas lebaran yang hanya bisa dinikmati sekali setahun, memenuhi kantong dengan uang THR pemberian om dan tante (yang tak dapat lagi ku rasakan tahun ini hahaha), dan yang gak ketinggalan, kesempatan untuk menguji kesabaran saat mendengar komentar-komentar dari keluarga kita tentang kehidupan kita saat ini baik tentang karir, pendidikan, hingga yang agak sensitif seperti....bentuk dan ukuran tubuh. Yaaa sepenggal percakapan yang gue tulis di awal tulisan ini adalah contohnya.

Bagi mereka yang memiliki tubuh dengan size yang 'berbeda' dari masyarakat pada umumnya, percakapan diatas sudah sering didengar tiap tahunnya. Bahkan, tak perlu menunggu moment lebaran, dalam kehidupan sehari-hari pun, komentar-komentar tentang penampilan juga biasa kita dengar dan baca lewat media sosial, baik untuk diri kita sendiri ataupun dari pengalaman orang lain. Menghadapi kondisi seperti ini, sometimes i wish people could stop commenting about other's physical appearance and be nice both in real and virtual life. 

Agak sulit dipungkiri bahwa penampilan fisik adalah topik yang mudah untuk membuka suatu percakapan dengan orang lain. Untuk gue pribadi, don't judge book by its cover is pretty hard thing to do, karena halaman depan dari buku-lah yang paling mudah untuk dilihat dan jadi referensi awal kita untuk menilai. 

I think it's natural for human being to believe what they see first and once they want to know more, they dig deeper. The main challenge here is to keep the thought about what you've seen inside your mind  first instead of saying it out loud without having enough reference that could support your judgement. 

For me, komentar soal penampilan fisik itu bikin aura-aura buruk terasa lebih kuat dan sangat berdampak pada mood gue saat itu, apalagi kalau sudah bernada negatif. Meminta orang lain untuk berhenti membahas penampilan fisik punya tantangan tersendiri. I personally believe, you can't change the world without changing yourself first. Di saat kita tidak dapat mengubah atau menghentikan orang lain untuk berkomentar tentang penampilan fisik kita, kenapa kita tidak mencoba mengubah cara kita menanggapi komentar dari mereka?

Saturday, December 30, 2017

2017: 12 Months, 12 (big) Things that I'm Grateful at

"Be thankful of what you have; you will end up having more. If you concentrate on what you don't have, you will never, ever have enough" - Oprah Winfrey

Tahun 2017 akan berakhir dalam hitungan hari dan tentunya, merenungkan kehidupan kita selama kurang lebih 365 hari belakangan menjadi salah satu rutinitas yang dapat dilakukan sebagai persiapan di tahun yang baru. Melihat kembali tahun 2017, ada banyak cerita kehidupan, baik yang gue alami sendiri ataupun mendengar dari orang lain, yang memberikan kesan dan tentunya pelajaran berharga. Mulai dari pengalaman yang menggembirakan, membanggakan, menyenangkan, hingga yang menyedihkan, membuat marah dan terkesan suram berhasil menorehkan cerita dan ilmu tersendiri buat gue.

Before this year ends, I would like to share 12 things that i'm really grateful at that happened this year and share you a lil bit about the lesson i learnt.

  1. Had chance to learn from one of the biggest FMCG company in Indonesia & found out what I want for my career: As you know, I had an amazing 6 months internship on HR Department/Function in Unilever Indonesia. Setelah lulus kuliah, I thought I want to be a writer for magazine or online media. Tetapi dari pengalaman magang itulah, gue menemukan my true 'WHY' (also introduced me with Simon Sinek's Start with Why) for life and lead me to human resource (esp. on talent development) world for my career. 
  2. Hit the rock bottom to finally feel sure about the future: 2017 is definitely the rock bottom of my relationship with the man I love since 2008. We fight quite a lot in the first 6 month of 2017 but then we both realized what we really want  and create more concrete plan for our future, together.
  3. Had experienced living away from home and learned how to manage my life: Meski tidak benar-benar 'living away from home' karena masih sering dijengung oleh nyokab, but most of the time, I live alone during my internship programme. Selama ini, dari masa sekolah, gue selalu pulang-pergi dan gak pernah yang sampai nge-kos. So that moment was priceless karena gue dituntut harus bisa me-manage keuangan dengan baik, begitu juga waktu untuk kerja dan mengurus keadaan tempat tinggal.
  4. Learnt about self-control and earning someone's trust : Dari sejumlah pengalaman yang gue jalani di tahun 2017 ini, gue masih memiliki kesempatan untuk belajar tentang mengendalikan diri, mengendalikan emosi, mengendalikan ego yang selama ini terlalu bebas. 
  5. Got my first (permanent) job on my 24th birthday: This is probably the highlight of 2017. Tanggal 6 Juni 2017, gue diundang untuk interview oleh a start-up company named Kalibrr as the final process of my application to be an intern. At night, just before the day ended, i received an offering letter for a permanent position as Client Success Associate. It was the best gift I ever received and can't stop saying Alhamdulillah for that.
  6. Had chance to sharpen my saw through my current job and help more people: Bekerja di Kalibrr as Client Success Associate membuka banyak kesempatan untuk gue mengasah kemampuan gue di dunia human resource lewat day-to-day job & proyek-proyek yang ada. The best part of it, I can help more people to get the job they wanted & company to get the right people to work for them.   
  7. Got chance to read more books this year (mostly) about self-improvement & leadership: Bisa dibilang, tahun ini gue cukup aktif untuk membaca buku jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Senang rasanya bisa membeli buku-buku bagus dengan uang hasil keringat sendiri dan dapat menyelesaikan buku-buku tersebut sambil merasa inspired by the story. I've finished Game Changer at the Circus by Jean-Francois Cousin, A New Model by Ashley Graham, Start with Why by Simon Sinek, and some other books. 
  8. Finally able to buy the device that I've been wanting since junior high school: Saat SMP dulu, gue mengidam-idamkan bisa punya macbook karena di masa itu, gue lagi super seneng ngedit foto dan buat poster via photoshop and from what I heard, macbook is the device that I really need. Setelah hampir 11 tahun, I finally able to buy one!
  9. Able to conquer my fear of starting : 2011-2012 was a roller coaster for me dan menjadi salah satu periode yang mempengaruhi munculnya anxiety of starting new thing. Alhamdulillah, setelah bertahun-tahun harus merasa insecure ketika memulai hal baru, tahun ini ketakutan itu semakin berkurang. and I feel more confidence to start somethin new.
  10. Meet a lot of people and have chance to learn from them: Beside from work, gue juga berkesempatan untuk ketemu dan belajar dari beberapa inspirational person from a conference & some classes I attended this year. 
  11. Have more time to spend with people that I love in 2017: especially my mom. Mengingat lokasi kantor yang masih possible kalau gue harus pulang pergi, my mom always there to drop me to the nearest transjakarta station and I'm so happy to spend more time with her, listening to her story from work and what she experienced that day. 
  12. Still have things to be grateful at every single day: Menghabiskan 1/3 hari gue di jalanan memberikan waktu khusus untuk gue merenung dan reflect back. Knowing that I still have a lot of things to be grateful at every single day, make me feel blessed and of course, grateful. Meski di hari itu gue mengalami rough day, senang rasanya bisa merenung sejenak di perjalanan pulang dan merasa bersyukur. 

So that's all....12 things that I'm grateful at this year & also a summary of my life in 2017. For next year, I hope I can keep the positive vibe in my life by being grateful of life and share the same vibe for people around me.

Don't forget to stay positive & be grateful!




Saturday, December 9, 2017

Body Positivity: Self-love and gratitude

2018 is getting closer, and December always be the month of reflection to me. I've experienced a lot of things this year, dari yang baik...hingga yang menantang. Whatever happened, I can't stop saying Alhamdulillah, because I still have the opportunity to learn and be a better version of myself in the end of the day.

For some people, I'm a positive person...always see the bright side of every darkness...always find the reason to be grateful no matter how tough the life is. But the truth is, I'm not always that positive...I'm not always a grateful person. Selalu ada saat dimana gue melupakan prinsip gue: whatever happened, life is a bless. Time is always be the best slapper for me...mungkin butuh beberapa waktu untuk gue menyadari bahwa hal-hal yang burukpun wajib disyukuri karena menjadi kesempatan untuk selalu belajar. 

Speaking about being grateful, setiap Senin pagi, my director always ask the team to mention at least 3 things that we grateful at during the week. Sound easy right? It actually is! Rutinitas tersebut-lah yang mengilhami gue untuk kembali menulis seputar body positive saat ini (after such a looong...loong break from blogging). Why? Because 'gratitude' is the reason why i write about body positive at the beginning.


Saturday, September 16, 2017

The Way We Judge from its Cover

A picture is worth thousand words

Melihat konten visual memang lebih menarik dan simpel untuk kita pahami ketimbang membaca suatu tulisan, terutama pada generasi milenials (those who born between 1981-1998). Dalam suatu artikel yang gue baca tentang how to attract milenials, menambahkan konten visual diyakini akan efektif untuk menarik perhatian mereka. No wonder, menelusuri instagram menjadi lebih populer ketimbang membaca blog di kalangan gen Y ini (including me!).

It's true that a picture could summarize the what happened when the picture was taken/created, tetapi hanya sebatas permukaan saja. And I personally believe that to really have understanding on something, we have to go deeper. Karena lebih mudah untuk dipahami, banyak orang langsung memberikan judgment berdasarkan apa yang mereka lihat lewat visual content...not what they understand. Butuh contoh?

Have you ever seen bad comment on your favorite celebgram account? I believe that the 'haters' sent that negative comment because they only judge her/him based on the uploaded picture instead of really knowing the story. Padahal kalau dicermati, terkadang di caption foto-foto tersebut, ada penggalan cerita yang bisa menambah pengetahuan kita tentang orang tersebut dan probably, could change our perspective about them.

Gue jadi teringat cerita yang gue peroleh tahun lalu, dari salah satu selebgram bertubuh plus-size di Indonesia saat gue mengumpulkan data untuk skripsi. She told me that she got a hate message from one of her followers via snapchat. Padahal, sang selebgram dan sang follower tidak mengenal satu sama lain. I mean..how can you hate someone that you never meet or interact with? So I conclude that the hatred came from the follower's judgment upon the celebgram photo/instagram update.

It’s so interesting to see how people react after judging only from the cover nowadays, especially on social media.

Bagi gue, punya judgement terhadap seseorang atau sesuatu adalah hal yang sangat manusiawi. Tidak ada salahnya memiliki pendapat atas sesuatu yang baru kita lihat atau hanya sebatas tampak depannya saja yang kita lihat. Namun, yang bisa jadi salah adalah how we react.

Tidak pernah ada salahnya berusaha memahami apa yang kita lihat terlebih dahulu sebelum mengutarakan judgement kita ke ranah publik. Caranya bagaimana untuk memahami? As simply as adding a break between an action (in this case, what we see on social media) and a reaction (judgement, for example). Manfaatkan jeda itu untuk membaca kondisi,  berupaya menempatkan diri di posisi orang yang hendak kita berikan judgement, atau jika kembali kepada kegiatan bermedia sosial, membaca caption yang ditulis sebagai pelengkap foto yang orang tersebut unggah. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan informasi lebih banyak (and possibly deeper) that could lead us to more effective result.

Mungkin saja, jika sang follower dari plus-size celebgram tidak lupa untuk membaca caption, membaca hashtag, membaca pola pesan yang sang celebgram coba kemukakan, ia gak akan mengirimkan hate message via social media. Instead of sharing hate, that person might get inspired and  collaborate to share same message to the world.

Jika setelah berupaya membaca cerita di balik apa yang telah dilihat kita masih merasa harus memberikan judgement/opini, that's definetely ok! Tapi gue percaya, dengan memberikan jeda untuk membaca situasi, pendapat kita bisa disampaikan dengan cara yang lebih baik dan lebih efektif....ketimbang dengan menuliskan komentar negatif di media sosial.

I know it’s really hard to not judging, tapi akan lebih baik dan lebih efektif jika kita punya pengetahuan tentang the story behind what we have seen. Untuk bisa meminimalisir, atau mungkin lebih tepatnya membuat judgement yang lebih efektif, butuh latihan dalam waktu tertentu. Percaya, kalau kita tidak pernah memulai, kita gak akan pernah tahu hasil akhirnya. 

I'm still on my way to be more effective social media user. Pernah suatu saat gue hampir saja mau langsung bereaksi instead of try to understand what i have seen. Sekitar tahun lalu, di akun salah seorang penulis/entertainer yang banyak membahas isu plus-size dari Indonesia, sang pemilik akun mengunggah sebuah video singkat yang berisikan pesan kepada wanita bertubuh besar agar tidak lebay dalam berpakaian. Jujur saja, setelah melihat video tersebut gue agak terganggu dengan cara penyampaian pesan dari sang pemilik account. Kenapa? Karena isi pesan tersebut kontradiktif dengan pesan-pesan positif yang selalu dirinya share di media sosial hampir setiap saat. Setelah melihat video, gue langsung memberikan reaksi dengan men-klik kolom komentar dan menuliskan pendapat gue yang berlandaskan satu unggahan video. But then, i took my time to think: apakah baik langsung memberikan komentar tanpa berusaha tau alasan kenapa sang pemilik akun membuat video tersebut? Mungkin saja, memang itu cara dia berbicara....mungkin saja, itu hanya bercanda. Setelah berfikir sejenak, i hit the back button and leave her page....dengan pemikiran bahwa it's not effective to be angry or saying bad words for something that i dont really understand. (Meskipun pada akhirnya ada orang yang berpendapat sama dengan gue memberikan komentar sih di unggahan tersebut :p )


Since then, I believe that by doing this, our life will be more useful...lebih berfaedah....dan menjadi lebih bahagia. Nilai tambahnya lagi, dengan mulai memahami apa yang kita lihat di media sosial, kita juga berkontribusi pada kebahagiaan orang lain. No more hate is very possible if we can control ourself in judging others.


Saturday, June 17, 2017

Body Positive: When the Power of Words Meet the Power of Self-Control

"A beautiful woman has long hair"

That 'popular' view affected my life for few days after I decided to embrace my old look: short bob (kalau kata hairstylist-nya bob disconnect...funny name, huh?). It's funny how that 'popular' view could make me insecure for few days, karena sebelumnya I won't be insecure hanya karena hal seperti itu. That insecurity came after some of my closest people (one of them is my boyfriend) told me that my new haircut is too short and not suited me well. After they told me so, i felt so guilty....so disappointing at myself...meskipun seharusnya tidak perlu ada perasaan bersalah karena pada dasarnya my body is my authority, right?! Tapi that's what I feel at that time: insecure, ugly, and kinda hate myself....dan perasaan tersebut berlangsung for couple of days.

Beberapa hari kemudian, when I met my co-workers in the office, they were shocked ketika melihat penampilan baru gue...tapi, bukan kaget dalam arti yang buruk. Most of the people that I met in the office told me that I look pretty, more fresh, and younger with my new hairstyle. Tanggapan yang sangat berbeda dari apa yang gue dengar selama beberapa hari. Dalam hitungan detik setelah mendengar feedback positif tersebut, mood gue langsung saja berubah: from insecure and sad into superb happy and glad that I actually did something right. Perasaan tersebut tentunya membawa rasa percaya diri gue, yang sempat terpuruk, menuju langit ke tujuh dan in a second, that 'popular' view didnt mean anything for me at all.

Wednesday, May 3, 2017

Not His Story: Powerful Women, Unite!

".....when we grow up, we may think that we're the only person with the problem we face and no one can help us but ours. But the truth is, to find the answer on our problem, we have to meet other people and seek for solution from their experience..."

Statement di atas adalah rangkuman yang gue buat dari apa yang telah disampaikan oleh Sophia Amoruso, the woman behind Nasty Gal and the 'Girl Boss' book, pada saat acara Resonation hari Sabtu yang lalu (29/4). Sebagai salah satu pembicara yang cukup dinanti-nanti dalam acara Resonation 2017, Sophia Amaruso banyak berbagi pengalaman hidupnya. Tidak hanya sebatas membahas pengalamannya dalam mendirikan salah satu perusahaan retail yang cukup ternama di Amerika, Nasty Gal, tetapi juga pengalamannya dalam mencari 'The Right Guy'. Satu pesan yang cukup melekat diingatan gue terkait dengan love life adalah, 'find someone that going to be 'on' because of your ambition...if he's going to be, then he's the one'. 



Kisah dan pesan-pesan menarik dari pengalaman hidup seorang Sophia Amoruso tentunya tidak pernah akan gue peroleh kalau gue tidak datang ke Resonation 2017, a women empowerment conference, yang berlangsung di The Kasablanka hari Sabtu, 29 April 2017 yang lalu. Dengan mengusung tema What's Stopping You, Resonation yang digagas (salah satunya) oleh Nina Moran, one of the fearless sisters behind my favorite magazine, GoGirl!, menjadi ajang bertemunya para perempuan untuk bisa saling berbagi pengalaman, berbagi cerita, dan saling mendukung untuk mewujudkan wanita-wanita Indonesia yang berdaya. Acara yang dimulai pukul 8 pagi hingga pukul setengah 6 sore itu terdiri dari sejumlah kegiatan, mulai dari acara hiburan, talk show dengan sejumlah inspiring women (and men!), hingga sharing session yang menjadi kegiatan favorit gue.

Sunday, April 16, 2017

Being A Plus-Size Women: What Hold You Back?

'Diet_sehatlangsing started following you'
'dr_peninggi_pelangsing_no_1 started following you'
'solusiperutbun.cit started following you '

Bagi pengguna instagram, pasti pernah beberapa kali mendapat notification bahwa akun kita diikuti oleh akun-akun yang menawarkan produk pelangsing atau jasa konsultasi untuk mendapat tubuh yang lebih kurus. Sering menggunakan hashtag #plussizeindonesia atau #plussize dan mengunggah foto-foto diri sendiri rasanya merupakan alasan dari akun-akun tersebut mengikuti gue di Instagram. Probably because i have big body, they see me as  a potential customer. Atau dalam kata lain, they became my followers because they have the stereotype that girls like me, who have big body, want to have skinnier body. Annoying? Kind of, tapi kondisi tersebut gak bisa dipungkiri karena yaaa pada dasarnya mereka sedang berusaha mencari sesuap nasi dan segenggam berlian dengan memanfaatkan stereotype yang ada pada para pengguna instagram.

one of my favorite photo-shoot session on ANTM when they talked about how stereotype 'eat' them all.

Bicara tentang stereotype, begitu menarik ketika gue sadar bahwa hidup kita gak bisa lepas dari stereotype itu sendiri, baik yang melekat pada diri kita maupun yang kita lekatkan pada diri orang lain. Sebelum membahas lebih lanjut, i think it's important to understand what's stereotype.

Sunday, January 8, 2017

Being a Plus-Size Women: Romusa isn't Trending Anymore!

Pernah dengar istilah 'romusa'?

Kalau kalian jawab 'kerja paksa di zaman penjajahan Jepang', well great! Karena kalian masih ingat pelajaran sejarah. Tapi Romusa yg gue maksud bukan itu.

Istilah Romusa yang gue acu kali ini muncul dari cerita salah satu dosen gue yang mengunjungi salah satu daerah di Papua. Salah seorang penduduk lokal yang berinteraksi dengan dosen gue menyebutkan istilah tersebut setelah seakan-akan melihat kebingungan di wajah dosen gue karena penduduk di tanah Papua punya wajah yang mirip-mirip. Romusa yang dimaksud adalah adalah kependekan dari 'Rombongan Muka Sama'.

Istilah itu selalu gue ingat karena berkesan banget! Dan setelah dipikirkan lagi, even di Jakarta yang  orang-orangnya sudah lebih diverse, Romusa masih bisa kita temukan loh!

Dimana?

Coba saat kalian bermain ke pusat perbelanjaan di Jakarta (atau kota-kota besar lainnya) perhatikan para wanita muda yang ada di sana dan coba cari sejumlah persamaannya. Selama ini gue melihat bahwa sebagian besar wanita muda di mall punya penampilan yang serupa: rambut panjang dan ikal di bagian bawah, wearing make up, pakai baju yang modelnya serupa, dan punya cara jalan yang mirip-mirip. Atau yang paling mudah, coba kunjungi akun-akun yang menampilkan cewek-cewek yang dinilai cantik dari suatu Universitas, most of them have similar characteristics, baik dari cara foto maupun dari penampilannya.

Buat gue, itulah Romusa di Jakarta.

There's a possibility serupanya penampilan para wanita muda di Jakarta disebabkan oleh adanya stereotype tentang 'wanita cantik'. Dalam berbagai kesempatan, para pria yang gue kenal punya preferensi untuk menyebut wanita yang punya tubuh langsing, rambut panjang, dan kulit putih (atau mungkin lebih tepatnya terawat kali yaa) sebagai sosok makhluk yang cantik. Karena stereotype itulah banyak wanita yang kita lihat di mall atau media sosial punya gaya yang serupa....agar bisa masuk atau memenuhi pandangan masyarakat tentang 'cantik'.

nothing wrong about it. Sudah hakikat dasar manusia untuk menyesuaikan diri, baik dari segi fisik maupun lainnya, agar dapat masuk dan diterima dalam suatu kelompok masyarakat. Simply because nobody wants to end up alone, right?! Nah, tapi jangan sampai kita lupa bahwa 'cantik itu relatif'!

Setiap individu punya pandangan tersendiri tentang kecantikan: ada yang punya preferensi wanita berkulit sawo matang-lah yang menarik, ada juga yang lebih suka wanita dengan tubuh berisi, atau ada juga yang lebih suka wanita yang terkesan tomboy...mungkin pandangan itu kalah populer dengan apa yang kita sering dengar tentang karakteristik wanita cantik, tapi percayalah....'cantik' itu sifatnya benar-benar relatif, tergantung preferensi masing-masing orang.

Mempercayai bahwa 'cantik itu relatif' adalah hal yang penting....penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri kita agar be ourselves instead of someone else. Jangan langsung minder ketika kita tidak memiliki tubuh layaknya Kendall Jenner atau Gigi Hadid yang kini menjadi referensi untuk 'wanita cantik', simply because we're not them and they are not us!

Seperti yang sering gue singgung di blog ini, menjadi percaya diri atau nyaman menjadi diri sendiri adalah hal paling utama untuk bisa bertahan di masyarakat yang serba melihat penampilan fisik. Rasa PD itu nantinya akan terpancar dari diri kita dan jadi magnet tersendiri bagi orang-orang untuk menjadi teman atau mungkin pasangan hidup kita di masa depan. Bahkan, dengan memiliki penampilan yang berbeda dari stereotype 'wanita cantik' dapat membantu kita mengetahui mana orang-orang yang tulus berteman dengan kita dan mana yang berteman hanya karena penampilan fisik saja loooh :p

Im writing this just to remind you this: semua wanita itu cantik, dan your life is worth more than what society think about 'being beautiful'. It's time to embrace your own definition of 'beautiful' and show it to the world!

So, masih mau jadi Romusa atau be your own kind of beautiful? ;)

Sunday, January 1, 2017

Not His Story: What 2016 Had Done to (and Taught) Me!

Happy New Year 2017! 
Alhamdulillah masih diberikan kesempataan untuk bernafas sama Tuhan hingga dapat merayakan pergantian tahun lagi kali ini. How's your new year eve? I spent my night with my big family and i couldn't ask for more. Semoga saja tahun 2017 lebih baik dari sebelumnya, Aamiin.

Tahun 2016 telah banyak memberikan kenangan dan pelajaran yang menarik sekaligus penting untuk kehidupan gue, mulai dari ngurusin skripsi, mencari kerja, jalan-jalan bersama orang-orang yang gue sayang, sampai akhirnya ditutup dengan pengalaman menjadi seorang anak magang di salah satu perusahaan yang terbilang cukup besar di Indonesia. Bisa dibilang, tahun 2016 membuat hidup gue lebih dinamis. Setelah beberapa hari kemarin  menyempatkan diri untuk merefleksikan hidup di satu tahun belakangan ini, gue menemukan ada beberapa aspek dalam kehidupan gue yang 'diotak-atik' oleh tahun 2016 dan menghasilkan pelajaran penting as my guidance to survive in 2017. And I guess it's time for me to share what 2016 had done (and taught) to you...siapa tahu bisa jadi pembelajaran juga ;) Here we go!

1. On Health
2016 bisa dibilang tahun pengujian akan kesehatan gue. Setelah beribu-ribu tahun gue gak menggunakan inhaler untuk mengatasi asma, tahun ini rekor itu pecah lewat beberapa kali serangan asma di tahun 2016. Bagi yang mengikuti gue di media sosial, pasti tahu bahwa gue cukup sering menghabiskan waktu di gym (meskipun gak rutin). Logika sederhananya sih, kalau sering berolahraga penyakit asma harusnya bisa teratasi. Tetapi kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Selain asma, di akhir tahun 2016 gue harus menghadapi demam tifoid dan flu berat yang membuat gue gak konsen kerja dan merasa cepet banget capek.

Awalnya gue berfikir ini karena gue kurang olah raga, kurang gerak. Tapi setelah difikirkan lagi, setiap gue sakit, baik asma, tifus, ataupn flu, gue pasti sedang ada dalam kondisi banyak pikiran.At that point, i learn about the importance of balancing mind and body. Pikiran kita itu sangatlah kuat. Ketika pikiran-pikiran negatif mendominasi, tubuh kita juga akan terpengaruh oleh hal tersebut. Akhirnya jadi lebih rentan untuk terkena penyakit dan mengganggu produktifitas kita. Meskipun sudah rajin olah raga, menjaga makan, atau minum vitamin, tubuh kita akan tetap rentan kalau pikiran kita tidak dijaga untuk stay positive. I understand how hard it is to manage the positive mind, tapi hasil gak akan menghianati prosesnya.

Belajar dari apa yang tahun 2016 lakukan pada kesehatan gue, I want to pay more attention on my health this year by live with positive mind to make a positive body in 2017. Semoga saja serangan-serangan asmara di tahun 2017 ini tidak terjadi seheboh tahun lalu.

2. On Being Confident
Bisa dibilang, tahun 2016 banyak mengajarkan gue seputar how to love my body even thought I don't have Kendall Jenner's body. Gue semakin paham bahwa tubuh dengan bentuk dan ukuran apapun itu bukanlah penghalang untuk menjadi sosok yang percaya diri. Gue banyak belajar lebih banyak tentang hal tersebut di tahun 2016 setelah berbincang langsung dengan tiga orang plus-size influencers yang gue ikutin di media sosial; Irene Tanudibroto, Annissa Mawinda, dan Aditira, untuk skripsi gue. Selain dari ketiga sosok inspiratif (dan stylish!) tersebut, gue juga banyak belajar dari sesama plus-size yang gue kenal lewat Instagram setelah gue sering menulis seputar life as plus-size women in Indonesia di blog dan mengunggah foto-foto OOTD di Instagram.

Meski merasa lebih PD tentang tubuh, gue menyadari bahwa tingkat kepercayaan diri gue masih harus lebih ditingkatkan dalam lingkup pekerjaan. Gue merasa masih kurang PD untuk mengungkapkan pendapat ataupun ide-ide dalam pekerjaan. Asumsi gue karena masih belum terbiasa dengan dunia kerja.

In 2017, I would like to maintain my confidence level and also bring it to another level, which is the professional one. Hopefully, it could help me to excel my role in professional environment, Aamiin.

3. On Expanding My Network
Sejak awal tahun 2016, gue diberikan Tuhan banyak kesempatan untuk bisa mengenal orang-orang hebat lewat berbagai event. Misalnya saja di akhir Januari, gue berkenalan dengan sejumlah mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang mendapat undangan untuk ikut dalam acara Asean Career Fair with Japan di Singapura. Lalu gue bisa sharing dengan para plus-size influencers seperti Irene, Annissa, Tira, Intan Kemala Sari, dan mbak Ririe Bogar, baik secara langsung maupun secara online. Gue juga bisa berkenalan dengan sesama plus-size dan akhirnya jadi teman baik. Selain itu, gue berkesempatan untuk masuk ke tahap 'Assessment Center' untuk Unilever Future Leader Program (MT-nya Unilever) dan berkenalan dengan sejumlah kandidat yang keren-keren dari segi experiences-nya. Gak hanya itu, di penghujung tahun 2016, gue berkesempatan merasakan magang sampai bulan Mei mendatang di Unilever. Tentunya kesempatan itu memberikan akses untuk gue to expand my network lewat bekerja dengan orang-orang hebat di divisi Human Resource. 

Di tahun 2016 ini, gue berusaha untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan (meskipun ada sih satu hal yang gue sia-siakan dan menimbulkan penyesalan mendalam) untuk bisa menambah networking dan belajar dari pengalaman mereka. Harapannya, di tahun 2017 gue bisa menambah network gue dan belajar lebih banyak lagi dari orang-orang hebat lainnya to help me achieve my dream.

4. On Chasing My Dream
Di akhir tahun 2016, gue menyadari there's million way to make my dream come true, as long as you don't stop exploring things. Saat lulus kuliah, gue langsung mendaftar di sejumlah perusahaan media supaya keinginan gue menjadi seorang reporter yang could produce inspiring articles bisa terwujud. Namun sayang, sepertinya Tuhan belum mengizinkan gue untuk bekerja di perusahaan media saat ini.

Awalnya gue sedih, namun gue menyadari bahwa bekal gue untuk menjadi seorang jurnalis masih terbatas, dan kesempatan untuk magang di Unilever yang gue jalani saat ini sebenarnya menjadi cara Tuhan untuk menunjukkan bahwa I can be a journalist through another way. Di Unilever posisi gue memang gak ada sangkut pautnya dengan media, tapi gue bisa belajar banyak dari sejumlah pekerjaan yang telah, sedang, dan akan gue lakukan selama program magang sebagai bekal menjadi seorang jurnalis yang baik di masa yang akan datang.

Hopefully, I can learn a lot from my current position and make my dream comes true this year. I also hope to still got a chance to explore more doors to another great opportunity that will be useful for my life, personal and professional. Aamiin.


Tahun 2016 telah memberikan gue setidaknya empat pelajaran berharga yang menjadi bekal hidup gue di tahun 2017. Thank you for all ups and downs, for all laugh and tears, for everything my dear 2016. Let's start 2017 by saying Bismillah!

See you on the next post!





Tuesday, September 6, 2016

Fashion Addiction: Back to Basic

For me, fashion is all about how someone dress up to any occasion they attend, no matter how basic they look like or how fancy it is. Fashion, for me, is my way to express my mood, my experience, myself.

Basic stuffs could be extraordinary only by the way you wear it. Instead of wear it in traditional way, I prefer to hang my grey jacket on my shoulder to make it look cooler. Horizontal stripe? Some people say that plus-size woman shouldn't wear it to avoid bigger figure. But I say, it's only about how you present it, in the right way, you may look as amazing as others.The major key to nailed any kind of clothes is being confident! 

Well, I may not be the right person to talk about fashion, but at least you may understand my point of view. Anyway, what I wear:
Striped Tshirt Dress | cotton on
Grey Jacket | (bought at) Warehouse, SCBD
3/4 Dark Blue Denim | -
Pink-Cream Shoes | Zalora.com 






Tuesday, August 2, 2016

Being a Plus-Size Woman: Am I Big Enough to be Called as Plus-Size?

As you know, I am a self-proclaimed plus-size woman. Well, ke-pd-an gue untuk menyebut diri sebagai seorang plus-size woman sebetulnya dilandasi oleh definisi 'plus-size' dari Plus Model Magazine. Kalau menurut salah satu halaman di  website mereka,

" The term 'Plus Size' is an industry standard that applies to any women who is over a size 12. To be even more specific, the fashion industry identifies plus size as sizes 12-24, super size as sizes 4X-6X and extended size as 7X and up " 

Berhubung gue selalu menggunakan pakaian dengan ukuran (US or UK standard) 16, maka gue cukup percaya diri untuk menyebut diri sendiri as a plus-size woman. Namun, beberapa waktu lalu, gue kembali mempertanyakan identitas gue tersebut. Apakah tubuh gue benar-benar masuk dalam kategori Plus-Size, terutama di Indonesia? Pertanyaan tersebut muncul karena ada sejumlah komentar yang pernah gue peroleh di dunia maya yang menyatakan bahwa I am not a plus-size woman. Karena pernyataan tersebut sering menghantui gue beberapa waktu belakangan, I decided to ask three plus-size icons from Indonesia. They are Aditira Hanim a.k.a. @Tiraemon on Instagram, mbak Ririe Bogar (@ririebogar on Instagram), and Intan Kemala Sari a.k.a @kemalasari on Instagram. 

Oh ya, gue rasa pertanyaan seputar kriteria 'plus-size' di Indonesia cukup penting, especially when it comes to the identity that we want to show to others. That's why I am asking them that kind of question to make it clear. 

Sosok pertama yang gue tanya tentang kriteria plus-size di Indonesia adalah Mbak Ririe Bogar. FYI, mbak Ririe adalah ikon plus-size Indonesia dan telah ditunjuk sebagai Asia Director for The Fuller Woman International. Back to the topic, lewat Instagram Message, mbak Ririe berpendapat bahwa kriteria seseorang disebut plus-size adalah dari berat badan dan penampilan fisiknya. Minimal berat badan untuk bisa disebut 'plus-size' sendiri, menurutnya, adalah 70kg.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Intan Kemala Sari, a plus-size icon/beauty youtubers/writer, lewat Instagram Message seputar kriteria plus-size di Indonesia. Menurutnya, plus-size itu berarti memiliki badan yang besar dan memenuhi kriteria berat badan tertentu,
"Kalau setauku mereka (plus-size) seperti ada patokan berat badan sendiri...misalnya yang bb (berat badan)-nya 75kg atau 80kg ke atas baru di anggap besar."
Intan menambahkan bahwa jika kriteria plus-size di Indonesia dilandasi oleh ukuran pakaian, dirasa agak sulit mengingat tiap brand pakaian memiliki standard ukuran yang berbeda-beda.

Tira punya pendapat yang sedikit berbeda dari mbak Ririe dan Intan. Menurutnya, seseorang masuk kategori plus-size dari ukuran pakaian yang ia gunakan,
"...aku sih liatnya juga dari size baju sih na, kalau udah lebih dari XL so yaaa aku sebut mereka plus size"
Membaca kembali pendapat dari ketiga plus-size icon from Indonesia di atas, gue mencoba merangkum poin-poin penting yang menjadi kriteria seseorang di sebut 'Plus-Size' di Indonesia.

  1. You have a big body: Melihat penampilan fisik adalah cara termudah mengindetifikasi seseorang sebagai plus-size. Namun, di balik kemudahan tersebut, ada pandangan tentang 'tubuh besar' yang sifatnya relatif. Pasti pernah dong mendengar teman kamu yang menurutmu langsing mengeluh 'duh badan gue gendut nih!'. Nah itu adalah contoh sederhana gimana 'besar' dipandang beragam, tergantung orangnya masing-masing. 
  2. Wear size 12 and above/XL and above: Mengikuti definisi 'plus-size' dari Plus Model Mag, seseorang tergolong 'plus-size' kalau biasa menggunakan pakaian dengan ukuran 12 ke atas. Yang perlu diingat, pakaian dengan ukuran tersebut harus pas di tubuh, bukan yang oversized/kedodoran. Nah, the tricky part of using this criteria adalah tiap brand pakaian atau tiap produsen, punya standard ukuran yang beragam.  
  3. Punya berat badan diatas 70 kg: Berhubung 'besar' itu relatif, baik dari segi penampilan fisik atau pakaian, melihat sesuatu yang konkrit adalah hal yang dibutuhkan untuk menilai apakah seseorang masuk kriteria plus-size atau tidak. Berat badan, menurut gue, adalah cara paling mudah dan cukup efektif untuk menentukan apakah seseorang masuk dalam kategori 'plus-size' atau tidak. 
Ketiga poin yang sudah gue rangkum di atas bisa dijadikan panduan bagi kalian yang masih bingung apakah masuk dalam kategori plus-size bagi wanita Indonesia. Pada dasarnya, 'being a plus-size woman' adalah identitas yang kita pilih untuk berbagai alasan, misalnya saja untuk bisa berbaur dalam suatu kelompok masyarakat atau hanya sebatas tools untuk mempermudah diri kita mencari inspirasi dalam berpakaian. Kalau kalian memenuhi semua kriteria di atas tapi enggan menyebut diri sebagai 'plus-size', it's not a problem. Pada dasarnya, tulisan ini gue buat untuk membantu mendefinisikan plus-size di Indonesia, karena tiap negara punya standard yang berbeda-beda bukan? 


Oh ya, siapa tahu juga, lewat tulisan ini kalian yang sebetulnya tidak 'plus-size' bisa berhenti bilang 'duh gue gendut!' :p Just kidding!

So, do you have your own definition of 'plus-size'? Share with me ;)


------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Interviewees' Brief Profile
  • Ririe Bogar: Plus-size icon Indonesia yang kini menjabat sebagai Asia Director dari The Fuller Woman adalah penulis dari buku berjudul "Cantik Ejaannya Bukan K.U.R.U.S.". Ia juga merupakan founder dari Miss Big Indonesia, Xtra-L Community, RB Models, dan Curvy Yoga Indonesia. Check out her superb motivating instagram: @Ririebogar
  • Intan Kemala Sari: dengan jumlah followers Instagram sebesar 8000 akun, rasanya tepat menyebutnya sebagai seorang plus-size icon dari Indonesia. She's also a journalist for one of online media platforms in Indonesia. Selain sering mengunggah foto-foto dengan caption yang menceritakan pengalamannya sebagai seorang plus-size woman, ia juga kerap mengunggah video dengan topik make-up dan belajar bahasa. Check out her instagram: @KemalaSari
  • Aditra Hanim: The superb stylish plus-size woman satu ini berasal dari Garut. Gayanya yang trendi menjadikannya role model bagi para plus-size woman di Indonesia, especially teenager-young adult, yang ingin terlihat fashionable dengan tubuh besar. She's also so humble dan sangat menyenangkan untuk diajak sharing. Check out her style on her instagram @tiraemon.

Friday, June 10, 2016

Not His Story: Thnks fr th Mmrs!

Class of 2012!

Squad Goals

Setelah empat tahun menjadi bagian dari Social Anthropology UI class of 2012, tonight is my very first time to join a breakfasting event with my dearest pals. For the last three years, i can't join the similar event for many reasons, mulai dari karena isu kampanye ricuh sampai karena alasan sederhana seperti 'have no money'. Tahun ini, secara sengaja gue datang ke acara buka puasa bersama mengingat adanya kemungkinan bahwa tahun ini adalah tahun terakhir gue sebagai mahasiswa, sebelum memasuki dunia kerja yang tentunya akan semakin sulit untuk menyempatkan waktu bertemu teman-teman seperjuangan. Alasan lainnya, sebagai bendahara angkatan, gue merasa sudah terlalu lama menyimpan uang iuran tiap minggu yang dipercayakan kepada gue dan acara buka puasa bersama ini jadi sarana yang tepat untuk menyudahi tugas gue itu. FYI, tahun-tahun sebelumnya, tidak banyak teman-teman seangkatan yang bisa hadir dalam acara buka puasa bersama (including me), dan bisa dibilang, malam ini sebagian besar bisa datang berpartisipasi, jadi gue rasa keputusan gue untuk ikutan acara ini adalah tepat. 

A sentimental night.

Frase itu sepertinya tepat untuk mendeskripsikan kebersamaan tiga puluh enam mahasiswa (out of 46) dan satu calon sarjana (yang hanya tinggal menunggu wisuda) malam tadi. Mungkin gue merasa 'tersentuh' karena ada satu sesi acara yang spesial. Sebenarnya sesi itu sangat sederhana, menuliskan kesan pesan pada secarik kertas yang dimiliki oleh masing-masing dari kami. Setiap sekian menit, kertas itu harus terus diputar dan dituliskan oleh siapapun yang memegang kertas tersebut, sampai akhirnya kertas tadi sampai ke tangan pemilik aslinya. Lewat kertas tersebut, gue jadi tahu kesan tentang gue yang melekat pada mereka semua. Ada sekitar tiga puluh lima kesan dan pesan yang gue peroleh, I don't think I want to write each of them here, but overall they wish me good luck for my thesis defense, and think that all of my notes for the last 7 semesters are helpful, Tidak semua pesan disertai dengan nama, tapi gue sangat berterima kasih atas do'a mereka untuk gue. 

Berkat mereka, gue bisa menjalani segala bentuk tantangan yang harus gue hadapi, salah satunya ketiga memasuki masa ospek jurusan, yang kalau throwback ke lima tahun yang lalu, menjadi salah satu sumber insecurity gue. Dari mereka, gue belajar begitu banyak hal berharga yang gue rasa gak akan gue peroleh di tempat lain.

#Throwback to 2012.
Part of Social Anthropology class of 2012 with our 'kiddos', S.A. class of 2015

Thank you so much, my dearest troops! Terima kasih untuk segala ilmu yang kalian ajarkan ke gue, terima kasih untuk berbagai canda tawa yang kalian torehkan dalam hidup gue, terima kasih atas semuanya! Gue selalu berdo'a untuk kesuksesan kalian semua, berharap kita semua diberikan yang terbaik oleh Tuhan dalam setiap langkah yang kita ambil. Good luck and see you on the top of the world!


Thursday, June 12, 2014

Not His Story: We just Don't Care (?)

Beberapa waktu lalu, saya sempat sedikit mengungkapkan uneg-uneg seputar 'perdebatan' saya dengan salah seorang teman mengenai public display affection melalui social media, sebut saja di PATH. Well, gak lama setelah itu teman saya yang agak hobi ber-PDA ria sudah mulai gak aktif-aktif banget untuk share her intimate moment on socmed, entah karena sadar atau memang kebetulan aja dia mulai males melakukan hal tersebut...honeymoon period will face its ends, right?!

Saya kali ini gak akan membicarakan apa yang terjadi dengan kebiasaan PDA dari sahabat saya itu, tapi disini saya mau sedikit membahas masalah kehidupan online dan offline  kita. Kebetulan, di semester 4 ini, saya memperoleh mata kuliah Analisa Jaringan Sosial dan di salah satu soal UAS yang baru saja dikumpulkan kemarin, ada pertanyaan yang membuat saya semakin ingin kembali membahas hal itu di blog ini. Kurang lebih isi soalnya sebagai berikut:

"Di dunia online, pengguna punya kemampuan yang lebih besar untuk mengelola informasi mengenai identitas dirinya. Pengguna relatif lebih bebas untuk menentukan username, avatar, dan identitas lainnya juga bisa membebaskan diri dari prejudice dan stereotype yang berlaku di dunia offline. Oleh karenanya, pengguna lebih bebas berbicara/bertindak apa saja karena tidak takut akan sanksi. Bagaimana pendapat anda tentang hal ini?"
Public Display Affection di social media bisa jadi salah satu bentuk unjuk kebebasan berbicara dan bertindak di dunia online karena, terutama di Indonesia, menunjukkan kasih sayang di ruang publik bisa memberikan anggapan bahwa pelaku melanggar nilai dan norma orang Indonesia sebagai negara, yang katanya, Islam. So, karena di social media kita bisa jadi siapa saja, apa saja, dan berbuat apa saja, PDA dianggap hal yang biasa. Contoh PDA di sosial media misalnya mengucapkan 'selamat pagi', atau 'semangat ya sayang' dan sebagainya. Saya pribadi akan menganggap jika hal tersebut dilakukan satu atau dua kali, atau dalam rentang waktu yang berjauhan atau dalam waktu-waktu spesial, hal tersebut akan jadi hal yang biasa saja. Tapi apa yang terjadi kalau salah seorang yang kita follow melakukan hal tersebut SETIAP SAAT, padahal logikanya nih...mengucapkan selamat pagi itu bisa dilakukan by phone atau by text...kalau saya pribadi rasanya terganggu, sangat terganggu. 

Anggapan bahwa ada kebebasan di dunia online seharusnya kembali jadi perhatian kita, si pengguna dua dunia. Tahu dong kalau ketika membuat suatu akun di sebuah website kita akan dihadang terlebih dahulu dengan sebuah surat 'perjanjian' mengenai aturan main di website tersebut? Mayoritas akan langsung men-skip surat tersebut dan langsung men-klik agree. Sadarkah kita bahwa keberadaan aturan tersebut pada dasarnya menjadi suatu batasan untuk kita di dunia online? Jadi, siapa bilang hidup di dunia maya itu bisa bebas sebebas-bebasnya?

Contoh lain, untuk kembali menyadarkan bahwa kita tidak bisa 'bebas' di dunia maya, secara sadar ataupun tidak, ketika kita ingin menuliskan sesuatu atu men-share sesuatu, kita sempatkan waktu untuk mencari padanan kata yang pas atau kalaupun sudah di share, merasa menyesal dengan apa yang kita bagikan ke dunia online tersebut. Atau pastinya pernah berfikir sesuatu terhadap apa yang di bagikan oleh teman kita di sosial media, entah apa yang ia bagikan itu membuat kita berfikir bahwa dia adalah wanita yang materialistis atau wanita yang tidak bisa hidup tanpa pria, atau bahkan pria yang tidak jantan karena selalu galau di sosial media....Kemudian, masih yakin bahwa dunia online bebas dari praduga para penggunanya?

Dunia online tidak sebebas apa yang kita bayangkan. Kenapa?  karena kita sebagai manusia masih tidak bisa memisahkan apa yang harusnya tetap berada di dunia nyata dan apa yang harus dibawa ke dunia maya. Seperti apa yang sempat saya tulis di beberapa post sebelumnya bahwa kita masuk menjadi pengguna salah satu laman web atau applikasi di dunia maya untuk masuk kesuatu jaringan yang kita inginkan. Kita akan melakukan berbagai usaha untuk tetap ada dalam jaringan tersebut. Apakah kita yakin jika salah seorang teman dekat kita di dunia nyata tiba-tiba men-unfollow atau unfriend akun milik kita, kemudian kita akan merasa biasa saja? Pasti akan muncul pertanyaan 'kenapa' dia melakukan itu atau apa yang salah dengan kita. Jika kamu telah berhasil untuk tidak merasa demikian, selamat..kamu berhasil melepaskan apa yang ada di dunia nyata untuk masuk ke dunia maya. 

Hubungan sosial yang terjalin di dunia online maupun offline akan terus menerus menjadi pendorong kita untuk menentukan apa yang baik dan buruk untuk menjaga image kita di masyarakat, well..setidaknya di kelompok tempat kita bernaung.Saya sendiri merasa agak sulit untuk bisa memisahkan kehidupan online dan offline karena keduanya terdiri dari orang-orang dari jaringan yang sama, sehingga apapun yang saya lakukan kemudian akan berpengaruh di kedua dunia tersebut.

Intisari yang saya coba capai dalam tulisan ini adalah, kita harus lebih peduli dengan aturan-aturan yang berlaku di dunia nyata maupun maya. Alasannya sederhana, karena kedua dunia tersebut saling bersinggungan. Dengan orang yang kita kenal maupun tidak, prejudice itu akan terus menerus muncul karena sifat tersebut sudah jadi satu dengan kehidupan manusia. So, bagi yang masih suka ber-PDA dalam skala yang berlebihan, coba mulai dikurangi...karena kita hidup di dunia sosial dimana setiap orang akan terus menilai diri kita untuk kemudian dibawa kedalam kehidupan sehari-hari.

In the end, saran dan kritik para pembaca (bagi yang memang membaca) dibutuhkan...supaya menambah pandangan baru. 

Have a great summer!