Thursday, October 29, 2015

Being Plus-Size Woman: Let's Talk About Body Image!

Sudah lama kayaknya gue tidak mengisi blog ini dengan topik tentang tubuh, atau mungkin lebih tepatnya membahas tentang body image. Terakhir kali menulis seputar being plus size itu di awal bulan September, which is about a month ago!. Karena kebetulan kemarin banget gue baru mempresentasikan salah satu bahan kuliah tentang body image, sepertinya seru juga untuk dituliskan di blog, sekaligus mengisi kamis yang tanpa jadwal kuliah ini :p

Sebelum gue membaca salah satu bab di buku Cecil Helman yang berjudul Culture, Health and Illness, pemahaman gue tentang body image itu gak jauh dari hasil temuan di google: bentuk tubuh. Ya, sebelum ini gue mellihat body image itu adalah bentuk tubuh individu yang terlihat secara fisik. Isu-isu seputar plus size woman ya jadi salah satu bagian dari topik body image karena ada individu-individu yang punya bentuk tubuh yang besar dan berbeda dari kesan ideal body/beauty. Namun, setelah gue membaca bab ke dua dari buku tersebut, pemahaman gue tentang body image bertambah. Rupanya, body image itu sendiri memang terkait dengan bentuk tubuh tapi gak hanya sebatas bentuk tubuh fisik yang dapat dilihat dari luar (seperti bertubuh besar atau kecil, tinggi atau pendek, dsb). Body Image adalah bagaimana seorang individu melihat tubuhnya, baik secara penampakan luar, penampakan dalam tubuh beserta fungsinya. Cara manusia untuk melihat dan memahami tubuhnya itu gak bisa dilepaskan dari kebudayaan (termasuk didalamnya kepercayaan-kepercayaan di sekitar kita) dan our own experience. Body Image ini, kalau dalam salah satu bahasan antropologi medis, berkaitan dengan bagaimana si individu tersebut menyampaikan keluhan-keluhan yang ia rasakan pada tubuhnya kepada ahli kesehatan (dokter atau ahli kesehatan tradisional seperti dukun, shaman, etc). Menarik bukan?

Bahasan dari buku Cecil helman yang menarik perhatian gue adalah bagian tentang bentuk, ukuran, dan penampakan fisik manusia itu sendiri atau dalam bahasa sederhananya, penampakan luar dari tubuh manusia. Dalam subab berjudul Shape, size, clothing and the surface of the body, itu dijelaskan bagaimana tubuh (dan penggunaan pakaian+aksesoris) bisa jadi semacam media komunikasi tentang identitas individu. Kalau sempat membaca tulisan gue yang berjudul "....and I Decide to Take Care of My Body. How About You?", ada satu paragraf yang membahas bagaimana orang-orang kulit putih di Amerika memandang tubuh besar sebagai suatu hal yang buruk karena melambangkan keserakahan, rasa malas, dan kebodohan sehingga punya status yang rendah di masyarakat sedangkan orang-orang Afrika-Amerika malah menjadikan perempuan bertubuh besar itu punya posisi tinggi di dalam komunitasnya. Contoh tersebut menjadi gambaran bagaimana tubuh individu bisa jadi media komunikasi atas identitas sosial mereka. Gak hanya bentuk tubuh, pakaian yang digunakan juga dapat menjadi penunjuk identitas sosial seseorang. Di Jakarta aja deh, misalnya, gadis-gadis belia yang menggunakan pakaian terlalu ketat dengan rambut hasil rebonding seringkali disebut sebagai cabe-cabean dan dianggap punya posisi yang rendah di masyarakat. Melihat masyarakat yang beragam saat ini dan sebagian besar punya akses informasi yang lebih luas memiliki pandangan yang berbeda-beda ketika menentukan individu atau kelompok mana yang punya posisi tinggi atau rendah di masyarakat, baik untuk orang lain maupun untuk diri sendiri. 

Menurut gue, menjadikan tubuh sebagai alat komunikasi adalah hal yang menarik, misalnya saja untuk menyampaikan identitas kita kepada khalayak umum. Tantangannya adalah bagaimana kita (dan orang lain) menginterpretasikannya karena belum tentu apa yang kita maksud dapat dipahami oleh orang lain. Alasannya? ya sesederhana tidak semua orang punya pengetahuan dan latar belakang budaya yang sama. Misalnya saja kehadiran plus-size fashion dalam industri yang identik dengan pria dan wanita bertubuh kurus bisa interpretasi masyarakat sebagai sebuah media untuk menginspirasi wanita dan pria bertubuh besar dalam berpakaian atau meningkatkan rasa percaya diri. Di sisi lain, ada saja masyarakat yang melihat keberadaan wanita dan pria berukuran plus adalah suatu cara untuk membenarkan obesitas. Sifatnya yang relatif ini mengilhami gue untuk belajar lebih memahami orang lain, terutama dalam hal berpakaian dan bentuk tubuhnya. Sebelumnya, gue kerap merasa aneh, merasa ada hal yang salah ketika melihat sejumlah wanita bertubuh besar (mostly yang lebih besar dari gue) berupaya berpakaian mengikuti tren yang ada. Bagi gue saat itu, mereka 'salah jalan' dan terlihat tidak sesuai dengan pandangan masyarakat pada umumnya. Namun, saat ini gue mulai paham bahwa mereka hanya ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa mereka juga bisa berpakaian modis dan punya rasa percaya diri layaknya wanita atau pria dengan tubuh ideal, baik mereka sadari atau tidak. 

Lewat upaya untuk memahami bagaimana masyarakat melihat diri mereka sendiri sebenarnya bisa mengurangi semakin berkembangnya body shaming, baik secara online maupun di dunia nyata. Secara lebih luas, dengan berupaya memahami dan menghargai kebudayaan orang lain sebenarnya jadi kunci untuk bisa hidup berdampingan di masyarakat yang beragam ini. 

Pembahasan tentang body image dalam dunia antropologi sendiri, buat gue, menjadi semacam pembuktian bahwa ketika lo belajar antropologi, banyak hal yang bisa dikaji dan gak hanya sekedar mempelajari hal-hal yang dianggap 'tradisional'. Dan yang paling terpenting, lewat belajar antropologi selama kurang lebih 3.5 tahun belakangan ini, membuat gue belajar untuk bisa lebih memahami dan menghargai pandangan orang lain. *edisi promosi jurusan :p*

Well, gue rasa itu aja yang mau gue sampaikan dalam postingan kali ini. Feel free to leave your comment about this topic! Gue sangat suka dan menghargai banget kalau ada yang menuliskan pendapatnya dan jadi diskusi hehehe :)

Have a great week, people!



No comments:

Post a Comment